Ketua Umum Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Silmy Karim memandang, salah satunya pemicu penurunan import besi serta baja (HS 72) pada bulan lantas ialah revisi peraturan dari Kementerian Perdagangan (Kemendag). Peraturan itu berkaitan pengembalian proses kontrol baja import dari post border ke proses kepabeanan.
Ketentuan yang disebut Silmy ialah Ketentuan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomer 110 Tahun 2018 Mengenai Ketetapan Import Besi atau Baja, Baja Gabungan serta Produk Turunannya. Beleid itu laku pada 20 Januari 2019.
baca juga: pagar besi
"Walau belumlah efisien berefek, tetapi saat ini mulai tampak gregetnya," katanya waktu dihubungi Republika, Ahad (17/3).
Silmy menjelaskan, efek lebih berarti kemungkinan tampak pada data Maret atau April. Tetapi, dia belumlah dapat memprediksi berapa besar penurunan import besi serta baja nanti. Penting, industri dalam negeri bisa makin berkompetisi dengan produk import yang umumnya di jual di harga tambah murah.
Silmy memberikan, penurunan jumlahnya import besi serta baja pantas dihargai. Jika sikap tegas penetapan import bisa dikerjakan dengan berkelanjutan, dia optimis kapasitas industri lokal bisa berjalan makin optimal.
baca juga: besi cor
"Termasuk juga, desakan pada neraca perdagangan pun makin kecil," kata Direktur Penting PT Krakatau Steel (Persero) Tbk ini.
Menurut Silmy, pemerintah serta entrepreneur tak perlu mencemaskan image proteksionisme yang muncul karena peraturan ini. Karena, semua negara lakukan perihal sama. Diluar itu, sikap membuat perlindungan diri yang dikerjakan Indonesia tidak terlalu esktrim dibandingkan negara lainnya seperti Amerika ataupun Cina.
Silmy mencatat, import baja yang tinggi dapat melemahkan industri dalam negeri serta menggerus utilisasi sampai dibawah 50 % dari kemampuan terpasang. Keadaan ini akan tidak membawa keuntungan buat industri baja sebab mereka tidak mamu tutup cost produksi yang tinggi.
baca juga: pipa pvc
Selain itu, Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menjelaskan, penurunan import bahan baku yang berlangsung dengan mencolok memang penting untuk industri. Dia memandang, keadaan ini memberikan indikasi jika industri manufaktur tengah kurangi produksi. "Tetapi, kita tetap harus awasi sampai bulan kedepan," katanya.
Jika kita cross cek dengan tanda lainnya, Faisal memberikan, keadaan itu pun searah dengan penurunan Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur yang dikeluarkan Nikkei semenjak Januar. Pada Februari, bahkan juga telah mulai berlangsung kontraktif. Sebabnya, penurunan keinginan pada produk manufaktur dari pasar domestik ataupun mancanegara.
Untuk penurunan keinginan di luar negeri, Faisal memandangnya telah turun persisten semenjak Desember 2017. Tetapi, penurunan domestik baru berlangsung semenjak Februari 2019.
Menjadi mengantisipasi, Faisal mengutamakan, pemerintah mesti dapat mengawasi daya beli penduduk supaya keinginan mereka masih kuat. "Di lain sisi, menggerakkan banyak kebijakan yang bisa mendesak cost produksi," katanya.
Menurut data Tubuh Pusat Statistik (BPS), penurunan besar berlangsung pada kapasitas import Februari 2019. Pada Januari 2019, nilai import menyentuh 14,99 miliar dolar AS yang turun jadi 12,20 miliar dolar AS pada Februari 2019 atau turun seputar 18,61 %.
Dengan year on year, penurunannya sampai 13,98 %, dimana import pada Februari 2018 sampai 14,18 miliar dolar AS.
Besi serta baja menempati rangking ke-2 dalam kelompok barang yang alami penurunan paling besar import nonmigas dengan penurunan (month-on-month) sampai 474,5 juta dolar AS.
Ada di tempat pertama ialah mesin atau perlengkapan listrik yang alami minus sampai 477,3 juta dolar AS. Mesin-mesin atau pesawat mekanik berada di rangking ke-3 yang alami penurunan 209,1 juta dolar AS.